03 September 2010

Mereka yang disebut aktivis

Mereka yang disebut aktivis
Oleh : HENDRA
( Mahasiswa STAI_Qiens Semester Va)

Terlalu populer kata ”aktivis” di kalangan Mahasiswa. Mereka
Membayangkan bahwa Mahasiswa adalah makhluk yang
bergerak disegala sektor internal dan eksternal kampus dengan segala kapabilitas yang dimiliki. Mulai dari kualitas intelektual dalam mengemban amanah Mahasiswa sebagai Agen Perubahan sosial ( agen of social change ), sampai
kepada alas pemikiran terhadap idiologi-idiologi yang berkembang. Hal inilah yang menjadi gerak diferensitas antar Mahasiswa akademis an sich dengan Mahasiswa aktivis, yang pada dasarnya merupakan keniscayaan yang sukar untuk dihindari. Sehingga, sebagin dari Mahasiswa menyadari hal tersebut bukan sebagai problem, melainkan pilihan hidup yang harus ditempuh dengan keinginan individual.

Setiap gerak langkah barisan aktivis mempunyai nilai-nilai idealisme dalam mencari kebenaran. Idealisme yang dimaksud adalah berusaha untuk mengembalikan kebenaran dalam bentuk realita sosial masyarakat, sosial akademis, sosial politik dan agama. Bukan idealisme ”gadungan”. Karena hal tersebut bakal mencoreng nama baik seorang aktivis di mata bangsa Indonesia.

Bukan hanya itu, Raymon Avon dengan tegas mengatakan bahwa “an activist is the great power to get pleasure for people”( seorang aktivis merupakan satu kekuatan besar untuk membahagiakan orang banyak/masyarakat). Dalam hal ini, R.Avon mengutarakan sebuah definisi yang kemudian menjadi renungan bagi kita untuk mengaplikasikannya tengah-tengah realita sosial saat ini. Karena kalau kita kaji semantika pada kata ”membahagiakan” , maka akan kita temukan sasaran antropologis yang mengakibatkan seorang manusia dapat hidup dengan damai, harmonis dan jauh dari aktivitas negatif.

Ternyata, lebih dari puluhan definisi aktivis beserta tuntutan yang harus di laksanakan. Namun, apabila kita menarik kesimpulan dari aneka ragam definisi, maka akan ditemukan titik esensinya. Yaitu, bahwa;

Pertama, esensi dari seorang aktivis adalah bergerak menuju keseimbangan. Hal ini berdasarkan atas ungkapan Hassan Hanafi ketika mengatakan bahayanya sikap personifikasi absolut, beliau memberikan kesimpulan bahwa sikap tersebut muncul tanpa adanya pergerakan yang jelas. Hingga kemudian, gerak menuju keseimbangan adalah hal wajib bagi mereka yang mengerti.

Kedua, hakikat (esensi) seorang aktivis ialah idealisme murni. Hal ini sesuai dengan ungkapan manis seorang Ali Sariati, bahwa kemurnian idealisme menjadi syarat seorang pejuang kebenaran. Hingga kemudian bisa dikatakan bahwa bahasa seorang aktivis tiada lain adalah bahasa idealisme, bahasa kebenaran dan bahasa Tuhan. Bukan bahasa politik dan bukan pula bahasa normatif.

Dari kedua terminologi esensial tersebut, maka dapat kita jadikan syarat mutlak bagi Mahasiswa yang mengaku dirinya seorang pejuang idealisme. Syarat tersebut bukanlah suatu hal yang baru didengar oleh Mahasiswa, melainkan bahasa yang nyaris usang seiring tenggelamnya kritisisme terhadap ketidakadilan, pengkhianatan dan pemerkosaaan idiologis. Sehingga nampak di depan mata kita tikus-tikus yang asyik menggerogoti duit rakyat, duit mahasiswa dan duit buat anggaran acara ”hantu”.

Keterlambatan seorang aktivis dihadang oleh beberapa faktor yang fundamental. Yaitu paradigma bahwa perjuangan harus disertai kuantitas manusia yang mumpuni, karena unsur kuantitas berpengaruh besar untuk merobohkan tembok ketidakadilan dan pengkhianatan. Faktor paradigmatik ini berakibat pada garingnya semangat untuk memperdalam kualitas sehingga perjuangan pun semakin tidak karuan. Hal ini berkesinggungan dengan statemen Presiden pertama Indonesia, yang mengatakan bahwa beliau sanggup ’menggoncangkan” dunia dengan hanya membutuhkan sepuluh orang pemuda yang kuat.

Selain itu, faktor kedua tertuju pada ’kentalnya kultur politik secara umum’ yang menguasai pola pikir mereka, sehingga derap langkah aktivitas dibarengi dengan penuh kecurigaan dan bahasa-bahasa politik. Bahasa murni disebut ingin menguasai dan bahasa politik ditangkap sebagai bahasa murni. Fenomena ini bisa kita rasakan ditengah-tengah penghambaan (idolisasi) terhadap eksistensi yang terus menerus menjadi program utama. Mereka mempunyai pemahaman bahwa eksistensi merupakan tahap awal dalam membentuk sebuah kekuatan.

sekali lagi, Virus eksistensialism e ”semu” ini cepat atau lambat akan mengkristal. Pengkristalan yang berbentuk

1 komentar:

  1. kita organ gerakan. memang semua elemen pergerakan punya kekhasan yang berbeda. berkaca dengan kegagalan mahasiswa 98 ataupun sebelumnya . kita hanya mampu untuk menerunkan sebuah kekuasaan tapi kita belum mampu memperbaiki sistem yang sudah carut marut. gerakan seperti ap yang kau maksut???

    BalasHapus