04 Juli 2009

Dukung dan Menolak Pernikahan di bawah Umur



Dizaman sekarang ini sebagian ramai tentang pernikahan dibawah umur, dari berbagai konsepsi penilaian orang beraneka ragam menanggapinya, ada yang pro dan ada yang kontra, dengan alasan yang pro dari pada kita berbuat zina lebih baik kita menikah, yang kontra dengan alasan ini suatu pelanggaran Hak Asasi Anak.

Sebaik-baiknya konsepsi adalah konsepsi yang merajuk kepada Al`quran dan Hadits untuk memecahkan masalah ini perlu menggunakan pendekatan histories atau sejarahnya seperti apa dan esensi atau isinya seperti apa, disana akan melahirkan suatu benang merah yang bisa ditarik kesimpulan lebih baiknya seperti apa.

Yang menjadi masalah adalah bagaimana menanggapi kasus seperti ini dalam masyarakat dalam menghadai dua konsepsi yang saling bertentangan, maka disini kami coba memisahkan dari dua sudut pandang baik menurut Agama dan menurut Negara.

  1. Pernikahan di bawah umurPost Atom

a). Pro Kontra Nikah Dini dan Alasan-alasannya

Pernikahan dini ( yang dimaksudkan "usia dini" disini adalah usia dibawah 18 tahun), sampai saat ini masih saja menjadi perdebatan panjang yang belum ada titik temu antata yang pro dan kontra. Dalam tulisan ini kami hanya akan memaparkan alasan-alasan terkait dengan pernikahan dini yang dijadikan pijakan bagi masing-masing kubu.

b). Alasan-alasan bagi yang pro Nikah dini:


Dari beberapa bacaan yang telah kami baca alasan terbanyak yang diusung oleh mereka yang setuju dengan pernikahan dini adalah untuk menghindari seks bebas. Menurut mereka pada zaman ini dimana materi pornografi begitu mudahnya diakses, ditambah lagi pergaulan bebas maka nikah dini adalah solusi untuk menghindari hubungan badan diluar nikah.




c). Alasan-alasan Bagi yang kontra "nikah dini":



Bagi yang kontra terhadap "nikah dini", nampaknya alasan-alasan yang diusung oleh mereka lebih banyak dari yang pro.

Diantaranya:

"Sebenarnya banyak efek negatif dari pernikahan dini. Pada saat itu pengantinnya belum siap untuk menghadapi tanggung jawab


yang harus diemban seperti orang dewasa. Padahal kalau menikah itu kedua belah pihak harus sudah cukup dewasa dan siap


untuk menghadapi permasalahan-permasalahan baik itu ekonomi, pasangan, maupun anak. Sementara itu mereka yang menikah


dini umumnya belum cukup mampu menyelesaikan permasalahan secara matang," kata Rudangta saat berbincang dengan


okezone melalui telepon genggamnya, Rabu

(29/10/2008).(http://lifestyle.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/10/29/29/158639/ketahui-risiko-pernikahan-dini-yuk)


"Perempuan yang menikah dibawah umur 20 th beresiko terkena kanker leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Kalau terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. Hal ini dikemukakan
staf pengajar Bagian Obsgyn FK UI dr Nugroho Kampono SpOG dalam talkshow “pencegahan dan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara” di Jakarta."(lengkapnya di


http://www.dinkes-kotasemarang.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=74&Itemid=0)

"Di tengah kontroversi hukum di Indonesia mengenai batas minimun usia perkawinan, pernikahan di usia dini juga terjadi


karena tradisi di suatu komunitas dan penafsiran terhadap ajaran agama yang salah. Pernyataan Syekh Puji di berbagai


media massa yang mengatakan bahwa pernikahannya dengan Ulfa seorang anak perempuan 12 tahun, merupakan teladan dari


Nabi Muhammad SAW yang menikahi Aisyah ketika itu berusia 9 tahun. Pandangan tersebut dibantah Ali Akbar, MAg seorang Dosen IAIN Sumut yang mengatakan bahwa Pernikahan Nabi sama juga Aisyah usia 9 tahun hanya Mitos, (Waspada Online/Jum’at
31 Oktober 2008). Hal yang sama juga ditulis oleh Azhari Akmal Tarigan tentang Dilema Pelaksanaan Hukum Islam,


(Waspada Online/31 Oktober 2008)."(http://niasonline.net/2009/01/28/pernikahan-dini-dan-tuntutan-revisi-uu-perkawinan/)

"Akibat dari perkawinan di bawah umur, terjadi peningkatan angka perceraian dan kematian ibu. Perceraian ini kemudian


menjadi pintu bagi masuknya tardisi baru yaitu pelacuran. Banyak ditemukan kasus pelacuran yang disebabkan pelarian


karena sebuah perceraian. Ini tentunya menjadi problem sosial yang sangat rumit. Dalam kasus kematian ibu melahirkan,


di Kabupaten Bantul mulai naik. Pada tahun 2004 tercatat ada delapan kasus dari 14.475 angka kelahiran, sedangkan tahun


2005 menjadi 12 kasus dari 13.382 angka kelahiran."(lengkapnya : http://bimasislam.depag.go.id/?mod=news&op=detail&id=407)


"Dari sampel 20 kepala keluarga (KK) yang melangsungkan pernikahan dini, lanjut Rozak, hampir 75 persen gagal membina rumah


tangga. Perempuannya rata-rata menikah pada usia 14-15 tahun. Sedangkan laki-laki berusia 17-20 tahun.


Penyebab pernikahan di bawah umur itu pun bermacam-macam. Misalnya, jatuh cinta, dijodohkan, atau dipaksa orang tua, dan


hamil di luar nikah. ''Yang landasan pernikahannya tidak didasari rasa saling suka umurnya cukup pendek. Yang perempuan


kemudian menjadi janda. Dan, sebagai pelariannya ada yang menjadi TKW atau PSK hingga dijual oleh orang tuanya,"( lengkapnya


http://mdopost.com/news/index.php?option=com_content&task=view&id=8500&Itemid=47)

  1. Hukum dari Segi Agama dan Negara

1. Perspektif Hukum Islam

Di dalam Al-qur’an tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Namun, ada sebuah ayat yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur'an mengenai perlakuan anak yatim juga valid dianalogikan untuk usia pernikahan.

Ayat tersebut mengatakan: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ? (Qs. 4:6

Dalam hal seorang anak yang ditinggal orang tuanya, Seorang muslim
diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka terhadap kedewasaan "sampai usia menikah" sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan. Di sini, ayat Qur'an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil tes yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.

2. Perspektif Hukum Nasional

Pernikahan antara Puji dan Ulfa tidak sah dalam perspektif hukum negara. Hal ini disebabkan dua hal. Pertama, pernikahan itu dilakukan di bawah tangan, karna tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini bertentangan dengan beberapa pasal dalam UU 1/1974 tentang Pokok Perkawinan. Pasal 7 ayat 1 menyebutkan, perkawinan tidak diizinkan apabila dilakukan oleh pria yang belum berumur mencapai umur 19 tahun dan wanita yang belum mencapai usia 16 tahun, kecuali ada dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. Apabila sebuah pernikahan tidak memenuhi persyaratan yang dimaksud dalam ayat 7 ini, implikasinya sudah jelas, yaitu tidak sah dan batal demi hukum.

Sementara UU 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak, juga telah membuat aturan dengan jelas. Berdasarkan kronologis kasus Puji-Ulfa seperti yang dipublikasikan berbagai media, bahwa Puji ini jelas memiliki kelainan psikologis karena menyukai anak di bawah umur. Sebelum menikahi Ulfa, dia telah melakukan semacam proses seleksi terhadap anak-anak yang berumur 9-12 tahun untuk dijadikan istri sampai akhirnya pilihan jatuh kepada Ulfa. Jadi ada indikasi phedofil dalam diri si Puji.

hal tersebut Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002 telah memberikan solusi yang jelas, yaitu bahwa setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta.


Jika dianalisa lebih lanjut, Puji sudah memenuhi unsur pasal ini, yaitu “eksploitasi seksual” terhadap Ulfa. Eksploitasi seksual yang dilakukan bertujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri. Jadi kata-kata “menguntungkan” di sini harus ditafsirkan lebih luas, bukan keuntungan secara materi saja, tetapi juga keuntungan yang sifatnya psikologis seperti nafsu phedofil si Puji.

Kalau mengikuti kronologis kasus pernikahan ini, Komnas Anak bukannya berperan dengan tegas menyeret Puji ke hadapan hukum, malahan mengajak berdialog. Model penegakan hukum seperti apa ini. Analoginya adalah, apakah model penegakan hukum di Indonesia telah berubah menjadi “persuasive law enforcement”, ketika ada orang yang tertangkap tangan seperti Puji melakukan tindak pidana, hukum bukannya langsung melakukan law in action, tetapi mengajak berdialog dulu seperti yang dilakukan Kak Seto terhadap Puji.


Kak Seto tidak menyadari, bahwa akibat tindakan ini, persoalan semakin rumit karena Ulfa dikabarkan telah hamil. Lagi-lagi kak Seto orang yang seharusnya berada di baris depan dalam law enforcement for the child, menginginkan hubungan Puji-Ulfa dilegitimasi dengan mengusulkan pemberian dispensasi oleh pengadilan, dengan alasan kepentingan terbaik bagi anak. Apabila hal ini dibiarkan, tentunya akan membawa preseden yang buruk terhadap penegakan hukum di bidang perlindungan anak. Akan menimbulkan kesan bahwa Islam melegitimasi pernikahan di bawah umur, sehingga akan banyak orang yang bersalah menjadikan agama sebagai justifikasi.

Selanjutnya, ada pemberitaan yang menyatakan bahwa Ulfa tidak ingin dikembalikan kepada orang tuanya, karena mencintai Puji. Seorang anak karena ketidakmatangan fisik dan mentalnya, pada dasarnya tidak memiliki validasi untuk memberikan persetujuan dalam pernikahan, atau dengan bahasa sederhana, persetujuan yang diberikan oleh seorang anak di bawah umur tidak memiliki validasi.

Hal ini sejalan dengan Pasal 12 Konvensi Hak Anak PBB tahun 1990 yang menyatakan: Negara peserta menjamin hak anak yang berkemampuan untuk menyatakan secara bebas pandangannya sendiri mengenai semua hal yang menyangkut anak itu, dengan diberikannya bobot yang layak pada pandangan-pandangan anak yang mempunyai nilai sesuai dengan usia dan kematangan dari anak yang bersangkutan”

Logika berpikir dari pasal tersebut, adalah hukum Islam tidak pernah bertentangan dengan hukum negara. Sejalan dengan Konvensi Hak Anak dimana penilaian terhadap cara anak menyatakan pendapatnya disesuaikan dengan usia dan kematangan anak yang bersangkutan, maka “persetujuan” yang diberikan anak untuk melaksanakan pernikahan tidak memiliki validasi mengingat keterbatasan fisik dan mental anak untuk memahami apalagi memasuki dunia perkawinan.

Akhirnya, dengan analisa dan dalil hukum yang telah dikemukakan tadi, pertanyaan selanjutnya hanya satu: apa yang ditunggu aparat penegak hukum untuk menyeret Puji ke penjara?

Kesimpulan

Berbagai konsepsi menawarkan bahwa ada yang boleh dan ada yang melarang, alangkah lebih bijaknya kita kembalikan pada niat awal kita yang dimana berlandaskan al`quran dan Hadits maka akanmelahirkan tindakan yang bijak sana tidak akan ada pihak yang dirugikan . jika suatu tindakan tidak akan membuat nyaman terhada si objek atau subjek lebih baik jangan ambil keputusan, maka tindakan itu harus kembali lagi pada nilai asas kemudharatan dan manfaat jika lebih banyak mudharat maka tinggalkan jika lebih banyak nilai asas manfaat lebih baik dilaksanakan.

Saran

Kami penyusun menyadari banyak sekali kekurangan dalam menyusun makalah ini, maka dari pada itu wajarnya kami menerima saran dan kritik dalam makalah ini demi terwujudnya kesempurnaan makalah ini yang dimana mungkin akan dijadikan referensi dalam mempelajari atau sebagai bahan memecahkan masalah dalam keluarga .

1 komentar:

  1. apakah solusi yang pasti dan jalan terbaik yang efektif jika dilaksanakan? thx

    BalasHapus